SURABAYA – Baru-baru ini, media dihebohkan dengan pemberitaan mengenai kasus bullying terhadap siswa SMP hingga merenggut nyawa sang korban. Hal ini menambah daftar panjang kasus bullying yang terjadi di Indonesia.
Kasus bullying, utamanya pada remaja, yang menyebabkan terenggutnya nyawa korban sebenarnya sangat banyak terjadi. Namun, layaknya gunung es, tidak banyak kasus-kasus ini yang mendapat atensi dari masyarakat luas. Lantas, apa saja penyebab remaja memiliki dorongan untuk melakukan tindakan bullying?
Tiara Diah Sosialita MPsi Psikolog, dosen Departemen Psikologi Universitas Airlangga, menjelaskan bahwa terdapat beberapa penyebab mengapa kasus bullying banyak terjadi pada remaja. Secara psikologis, bullying dapat dipicu sikap-sikap negatif seperti perasaan iri, dendam, dan permusuhan antar remaja.
Dari sisi pelaku, biasanya bullying dilakukan karena kepercayaan diri mereka yang cenderung rendah. Bullying menjadi sarana si pelaku untuk mencari perhatian orang-orang di sekitarnya. “Asumsi mereka, dengan mem-bully orang lain mereka akan merasa puas, lebih kuat, serta menjadi lebih dominan, ” jelasnya pada wawancara Senin (20/6/2022).
Tiara Diah Sosialita MPsi Psikolog, Dosen Departemen Psikologi Universitas Airlangga. (Foto: Istimewa).
Pengaruh negatif media, lanjut Tiara, juga turut menjadi penyebab tindakan bullying pada remaja. Berbagai tindakan kekerasan di televisi atau internet dapat menjadi inspirasi bagi para remaja untuk melakukan tindakan kekerasan bahkan tanpa alasan yang jelas sekalipun.
Guna mencegah perilaku bullying pada remaja, Tiara menekankan pentingnya para remaja mengetahui bentuk-bentuk tindakan bullying itu sendiri. Pada remaja, umumnya bullying dapat dilakukan dalam bentuk verbal (mencemooh, membentak, mencela), fisik (menendang, memukul, meludahi), relasional (mengabaikan, mengucilkan), serta dalam bentuk cyberbullying.
“Kalau sudah mengenal bentuk-bentuk bullying, jika merasa mereka melakukan bullying maka perlu untuk berhenti. Dan sebaliknya, jika seseorang menyadari bahwa ia korban bully, ia perlu melakukan langkah-langkah untuk tidak membiarkan (tindakan, Red) bully itu terus, ” tegas Tiara.
Pada korban bullying, Tiara menyampaikan pentingnya menyikapi tindakan bullying dengan percaya diri dan menghadapinya dengan kepala tegak. “Ingat, yang melakukan tindakan tercela adalah pem-bully, bukan korban. Jadi, yang harusnya merasa bersalah adalah si perundung, ” ujarnya.
Korban bullying, sambung Tiara, juga perlu mencari bantuan kepada orang-orang yang dapat ia percaya seperti orang tua, saudara, guru, atau konselor. Selain itu, korban dapat menyimpan bukti-bukti tindakan bullying agar dapat ia laporkan kepada pihak berwajib.
Tiara pun berpesan jika seandainya para remaja menyaksikan tindakan bullying, mereka dapat melakukan usaha yang bisa mereka lakukan seperti melerai, mendamaikan, atau mencari bantuan baik kepada guru maupun pihak berwenang. “Bullying itu bisa tumbuh subur karena orang-orang yang ada di sekitar remaja yang menjadi korban bullying itu diam aja, ” terangnya.
Orang tua juga diharapkan waspada terhadap tindakan bullying pada remaja mengingat tindakan ini dapat terjadi kapanpun, di manapun, pada siapapun, dan oleh siapapun. Terdapat beberapa ciri yang dapat menjadi indikasi tindakan bullying baik secara fisik (memar, luka, patah tulang), perilaku (tertutup, kesulitan berbaur, self-harm), maupun secara mental (emosi tak terkontrol, gangguan komunikasi).
Orang tua dapat meminta bantuan pihak sekolah apabila anaknya terindikasi menjadi korban bullying. Selain itu, mengingat dampak bullying sangat besar terhadap psikis, orang tua juga dapat melibatkan profesional seperti konselor atau psikolog jika terdapat trauma pada korban. “Jangan membiarkan bullying berlarut-larut sehingga remaja berkemungkinan melakukannya pada orang lain, ” pungkas Tiara.
Penulis: Agnes Ikandani
Editor: Nuri Hermawan