SURABAYA – Di Kabupaten Intan Jaya, Papua, terdeteksi cadangan emas dengan jumlah yang cukup besar di wilayah yang disebut sebagai Blok Wabu. Belakangan ini muncul rencana bahwa perusahaan pelat merah, yakni PT. Aneka Tambang Tbk., akan mengembangkan kegiatan pertambangan di wilayah tersebut. Rencana tersebut direspon dengan penolakan dari masyarakat Papua, tak terkecuali masyarakat adat Moni yang turun-temurun telah tinggal di Blok Wabu.
Dalam wawancara tim redaksi dengan Direktur Centre for Legal Pluralism Studies (CLeP) FH UNAIR Joeni Arianto Kurniawan, Ph.D, penolakan tersebut masuk akal karena masuknya tambang emas berpotensi akan semakin meminggirkan hak masyarakat adat disana. Ia mengatakan bahwa bumi dianggap oleh masyarakat adat pada umumnya sebagai ibu, tak terkecuali bagi masyarakat adat di Papua. Oleh karena itu, kehadiran tambang disana sama saja seperti memperkosa ibu sendiri.
“Kalau dibilang masyarakat adat akan dapat manfaat karena tambang itu seringkali tak terbukti. Lapangan kerja di tambang itu kan membutuhkan keahlian, apakah masyarakat adat memiliki keahlian yang relevan untuk bekerja disana? Kan belum tentu. Jadi selain mereka sudah tercerabut dari wilayah mereka sendiri, manfaat yang mereka dapat tak ada, ” ujar lektor FH UNAIR itu, Kamis (23/6/2022).
Potret Direktur CLeP FH UNAIR Joeni Arianto Kurniawan, Ph.D. (Foto: Istimewa)
Joeni mengatakan bahwa dalam hukum internasional, masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri (right to self-determination), baik secara individu maupun kolektif. Konsekuensi hukumnya adalah mereka berhak atas otonomi dalam mengatur masyarakatnya sendiri menggunakan hukum adat, termasuk mengatur wilayah hidupnya beserta seluruh sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Ia menambahkan bahwa otonomi ini harus diberikan oleh negara sebagai suatu penghormatan atas eksistensi entitas masyarakat adat, yang pastinya sudah terlebih dahulu ada sebelum munculnya entitas negara tersebut.
“Oleh karena itu, semua interaksi dengan masyarakat adat, terutama interaksi yang berdampak terhadap kehidupan mereka, hanya dapat dibenarkan secara moral dan keadilan ketika mereka memberikan persetujuan secara bebas. Tak hanya itu, kebijakan-kebijakan tersebut harus dikonsultasikan pada mereka terlebih dahulu sebelum diimplementasikan. Prinsip ini dinamakan free, prior, and informed consent (FPIC). Bila prinsip ini diterabas, sama saja kita melakukan penindasan, ” tegas alumni University of Pisa itu.
Namun, dari sisi hukum positif, sambungnya, masih terdapat political will yang minim di Indonesia untuk memformulasikan hukum yang menjamin hak masyarakat adat. Joeni mengatakan bahwa sekalipun hak masyarakat adat diakui dalam konstitusi, implementasi perlindungan haknya yang seharusnya dituangkan dalam Undang-Undang masih belum ada. Hal ini mengingat bahwa RUU Masyarakat Hukum Adat masih belum juga disahkan dan mengimplementasikan prinsip FPIC.
“Pernah ada kemajuan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012. Disitu, diakui bahwa status hutan adat dalam UU Kehutanan bukanlah lagi sebagai hutan negara, melainkan hutan hak. Premisnya adalah wilayah adat itu bukanlah wilayah negara, tetapi wilayah yang di atasnya ada hak masyarakat adat. Namun, perubahan UU Kehutanan melalui Putusan MK ini seharusnya diikuti oleh perubahan UU lainnya yang terkait, khususnya Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), mengingat eksistensi hutan hak tidak bisa dipisahkan dari hak atas tanah sebagaimana yang diatur di UUPA, ” jelasnya.
Lebih dari itu, lanjutnya, UUPA juga mengatur soal hak ulayat, sebagai salah satu hak yang paling fundamental bagi masyarakat adat. Namun kenyataannya, UUPA sampai saat ini belum mengalami perubahan dan tanah adat tetap merupakan bagian tanah negara sebagai tanah yang belum ada hak atas tanahnya. Berdasarkan lanskap tersebut, Joeni skeptis bahwa prinsip FPIC akan diimplementasikan dalam rencana pertambangan di Blok Wabu.
“Hal tersebut malah akan semakin memperkeruh dinamika Konflik Papua yang berkepanjangan, serta menambah daftar panjang dari pelanggaran HAM di wilayah tersebut, ” pungkasnya.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan