SURABAYA – Sistem saraf memiliki fungsi yang amat vital bagi kehidupan manusia. Pasalnya, sistem saraf berfungsi untuk mengkoordinasikan seluruh aktivitas tubuh manusia.
Kepala Neurovascular dan Neuroendovascular Therapy Center RSUD Dr Soetomo, Dr Asra Al Fauzi mengungkapkan bahwa kerusakan pada sistem saraf akibat penyakit dapat mengakibatkan morbiditas (kecacatan) permanen hingga kematian. Oleh karena itu, saat ini para peneliti mulai banyak mengeksplorasi cara untuk meregenerasi kerusakan pada saraf salah satunya dengan sel punca (Stem cell).
Baca juga:
Kolonel Unang Komitmen Putus Rantai Pandemi
|
“Beberapa penyakit seperti stroke, malignancy, neurodegenerative disease dan cerebral palsy adalah contoh penyakit saraf yang familiar dan menimbulkan cacat permanen. Dan di luar negeri risetnya sudah mengarah pada stem cell therapy, ” ungkapnya dalam webinar yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell Universitas Airlangga (UNAIR), Rabu (27/07/2022).
Dr Asra menjelaskan, terapi sel punca pada sistem saraf dapat melalui dua mekanisme. Yakni mengganti sel saraf yang rusak dan melalui paracrine effect. Ia mengungkapkan, salah satu metode terapi dengan pendekatan paracrine effect adalah dengan cara sekresi faktor neurotropik (NFTs) sel saraf dan transplantasi faktor defisiensi (delivery of deficient factors). Ia mencontohkan pada kasus penyakit parkinson.
“Para penderita parkinson mengalami kekurangan hormon dopamine yang mengakibatkan terganggunya pergerakan. Dengan metode delivery of deficient factors kita mengkultur sel penghasil dopamine untuk ditransplantasikan pada pasien, ” jelasnya.
Melanjutkan pemaparannya, Dr Asra menyebutkan bahwa mekanisme terapi dengan pendekatan paracrine effect adalah hal yang paling banyak dikembangkan saat ini. Hal itu terjadi karena karakteristik fisiologis organ dan sel manusia yang mana jika ada sel rusak akan secara otomatis sembuh akibat regenerasi sel atau jaringan sekitar.
“Contohnya pada sel otak pasien yang mengalami stroke, jika terdapat kerusakan pada otak ternyata di zona subventricular akan terjadi migrasi sel untuk menggantikan sel yang rusak tersebut, namun memang masalahnya adalah tidak ada dampak fisiologis atau fungsional yang ditimbulkan, ” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, aplikasi stem cell ini diharapkan tidak hanya mampu untuk menstimulasi regenerasi melalui migrasi sel sehat. “Namun juga sel saraf yang sudah beregenerasi tersebut bisa berfungsi dengan normal, ” terangnya.
Pada akhir, Dr Asra mengungkapkan bahwa ke depan masih banyak tantangan yang harus dihadapi guna menyempurnakan teknologi stem cell untuk neurotherapy. “Penelitian lebih lanjut utamanya untuk menemukan strategi peningkatan kelulushidupan sel yang ditransplantasikan dan mungkin kombinasi terapi untuk meningkatkan efikasi harus lebih banyak dilakukan, ”pungkasnya. (*)
Penulis : Ivan Syahrial Abidin
Editor : Binti Q. Masruroh